Takwa,
singkat namun sarat makna. Betapa sering para khatib menyerukan kepada
jama’ah sholat Jum’at setiap pekannya untuk melakukannya. Takwa, tak
hanya mengingatkan kita tentang apa yang seharusnya kita tinggalkan demi
mengharapkan ridha-Nya dan karena takut hukuman-Nya. Namun takwa juga
mengingatkan kita akan kehidupan yang akan dialami manusia setelah
kematiannya. Kehidupan yang penuh tanda tanya. Sebab saat ini tidak ada
di antara kita yang bisa memastikan akan kemanakah dirinya; ke surga
ataukah ke neraka? Sebuah pertanyaan besar yang tersimpan jawabnya di
dalam suratan takdir di sisi-Nya.
Saudaraku, menentukan jalan
hidup adalah perkara besar yang membuat banyak orang kelimpungan dan tak
tahu harus ke mana dia melangkah. Padahal, ilham kepada jiwa tak lepas
dari dua pilihan fujur (dosa) atau takwa. Sebagaimana yang Allah ta’ala
nyatakan dalam ayat,
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan kefajiran dan ketakwaannya.” (QS. asy-Syams [91] : 8).
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma menerangkan bahwa makna ayat ini; Allah
menjelaskan kepada jiwa kebaikan dan keburukan. Tafsiran serupa juga
disebutkan oleh Mujahid, Qatadah, adh-Dhahak dan ats-Tsauri. Sedangkan
Sa’id bin Jubair mengatakan, “Artinya Allah mengilhamkan kepadanya
kebaikan dan keburukan.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 8/321).
Orang yang beruntung bukanlah yang melepaskan kendali dirinya dan
menuruti bisikan hawa nafsu. Akan tetapi sosok yang akan menjadi
pemenang adalah yang berjuang membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran
dosa. Allah ta’ala berfirman,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya. Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syams [91] : 9-10).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa maksud ayat di atas
adalah keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang membersihkan
dirinya dari dosa-dosa dan menyucikannya dari berbagai perbuatan tercela
serta melembutkannya dengan taat kepada Allah, mengangkatnya dengan
ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih (lihat Taisir al-Karim
ar-Rahman, hal. 926).
Maka untuk memiliki jiwa yang tangguh dan
bertahan di atas jalur takwa seorang manusia harus meminta keteguhan
dan taufik serta pertolongan Rabbnya. Sebagaimana yang diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah untaian doa yang
indah,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ
وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَالْهَرَمِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ
اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ
زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ
مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لَا
تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas, sifat pengecut dan
pelit, pikun dan siksa kubur. Ya Allah, karuniakanlah kepada jiwaku
ketakwaannya, dan sucikanlah ia sebab Engkaulah satu-satunya yang bisa
menyucikannya. Engkaulah penolong dan tuhannya. Ya Allah, aku berlindung
kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’,
dari nafsu yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak
dikabulkan.” (HR. Muslim dalam kitab adz-Dzikr wa Du’a wal Istiqghfar wa
Taubah, hadits no. 2722).
Sesungguhnya ketakwaan telah menjadi
barang mahal di jaman ini. Lebih mahal dari air di padang pasir yang
tandus dan tetesan hujan di musim kemarau. Padahal, seperti yang sudah
kita mengerti bersama bahwa kelompok yang beruntung adalah orang-orang
yang bertakwa. Allah ta’ala berfirman tentang keindahan dan manisnya
buah takwa dalam ayat,
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ
هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ
الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ
بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ
هُمْ يُوقِنُونَ أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
“Alif lam mim. Ini adalah Kitab yang tidak ada
keraguan sedikit pun di dalamnya. Petunjuk bagi orang-orang yang
bertakwa; yaitu orang-orang yang beriman terhadap perkara gaib dan
mendirikan shalat serta membelanjakan sebagian rezeki yang Kami berikan
kepada mereka. Dan orang-orang yang beriman terhadap wahyu yang
diturunkan kepadamu dan nabi-nabi sebelummu serta meyakini hari akhirat.
Mereka itulah orang-orang yang berada di atas petunjuk Rabb mereka, dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Baqarah [2] : 1-5).
Jadi orang yang beruntung hanyalah orang yang bertakwa.
Kondisi jaman memang berbeda-beda. Namun perilaku dan kecenderungan
manusia seolah-olah tak pernah berubah dari masa ke masa. Kebanyakan
orang menyukai hal-hal yang bersifat sementara dan menghibur sesaat.
Meskipun pada ujungnya hal itu menyebabkan penyesalan dan rasa sedih
yang mendalam. Sejarah telah mencatat bagaimana umat-umat terdahulu
binasa dan berhak menerima siksa akibat kedurhakaan mereka. Mereka
menginginkan kesenangan yang sementara (dunia) dan nekad mengorbankan
kesenangan yang abadi (surga), aduhai alangkah zuhudnya mereka…!
Sebagaimana tololnya orang-orang munafik yang menjual akhirat dan
agamanya dengan harga yang teramat murah. Allah ta’ala berfirman setelah
menceritakan beberapa karakter mereka yang tercela,
أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
“Mereka itulah orang-orang yang rela membeli kesesatan dengan petunjuk.
Maka tidaklah beruntung perdagangan mereka itu, dan mereka juga tidak
memperoleh petunjuk.” (QS. al-Baqarah [2] : 16).
Oleh sebab
itulah kita dapati generasi terbaik umat ini -yaitu para sahabat-
memendam perasaan khawatir yang sangat besar apabila mereka terjangkiti
kemunafikan. Imam Bukhari meriwayatkan ucapan Ibnu Abi Mulaikah di dalam
kitabul Iman, “Aku berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua khawatir dirinya terjangkit
kemunafikan.” Hal itu tidak lain dikarenakan kemunafikan akan meludeskan
perdagangan mereka, menghanguskan harapan indah mereka, dan melenyapkan
kebahagiaan yang selama ini mereka idam-idamkan. Kemunafikan adalah
gambaran terjelek dari orang yang mengaku bertakwa. Berbeda dengan orang
kafir yang berterus terang mengibarkan bendera permusuhan terhadap umat
Islam dengan lisan dan sepak terjangnya, orang-orang munafik secara
lahir menampakkan persahabatan bahkan pembelaan kepada umat Islam namun
pada hakikatnya mereka berusaha menghancurkan Islam dari dalam.
Maka sangatlah pantas jika Allah menggelari kaum munafikin sebagai pendusta. Allah ta’ala berfirman,
الم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ
لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif lam mim. Apakah manusia itu mengira dia dibiarkan mengucapkan
kami telah beriman kemudian mereka tidak lagi mendapatkan ujian? Sungguh
Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami mengetahui
siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang dusta.”
(QS. al-Ankabut [29] : 1-3).
Kemudian Allah ta’ala ceritakan sebagian sifat mereka,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ فَإِذَا أُوذِيَ فِي
اللَّهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللَّهِ وَلَئِنْ جَاءَ نَصْرٌ
مِنْ رَبِّكَ لَيَقُولُنَّ إِنَّا كُنَّا مَعَكُمْ أَوَلَيْسَ اللَّهُ
بِأَعْلَمَ بِمَا فِي صُدُورِ الْعَالَمِينَ وَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْمُنَافِقِينَ
“Di antara
manusia ada yang mengatakan kami beriman kepada Allah, namun apabila dia
diberi cobaan di jalan Allah maka dia menganggap gangguan manusia
seperti layaknya azab Allah. Dan apabila datang pertolongan dari Rabbmu,
maka dia pun mengatakan, ‘Sesungguhnya kami bersama kalian’. Apakah
Allah tidak mengetahui apa yang tersimpan di dalam dada manusia? Dan
supaya Allah mengetahui siapakah orang-orang yang beriman dan siapakah
sebenarnya orang-orang munafik itu.” (QS. al-Ankabut [29] : 10-11).
Mengapa pengakuan iman di lisan mereka tidak bisa meneguhkan iman yang
ada di dalam hati mereka? Jawabnya, karena ketidaksabaran mereka dalam
menghadapi cobaan dan musibah yang menimpa. Padahal tanpa sabar iman tak
akan terjaga. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sabar
bagi iman sebagaimana peran kepala bagi tubuh. Orang yang tidak punya
sabar maka tidak ada iman padanya.” (Diriwayatkan oleh al-Lalika’i dalam
Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah).
Oleh sebab
itulah kita dapatkan di dalam al-Qur’an Allah ta’ala mengiringkan antara
sabar dengan ketakwaan. Allah ta’ala berfirman,
وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا
“Jika kalian bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka tidak akan membahayakanmu.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 120).
Sabar membutuhkan bahan bakar. Sementara bahan bakarnya tidak lain
adalah ilmu, iman, tawakal, keikhlasan, mahabbah, khauf dan raja’. Oleh
sebab itu Thalq bin Habib rahimahullah memberikan definisi yang sangat
dalam tentang makna takwa. Beliau mengatakan, “Takwa adalah kamu beramal
melakukan ketaatan kepada Allah di atas bimbingan cahaya dari Allah
dengan mengharap balasan Allah. Dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada
Allah di atas bimbingan cahaya Allah karena takut hukuman Allah.”
(Disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam Risalah Tabukiyah)
Marilah kita memohon kepada Allah petunjuk, ketakwaan, terjaganya
kehormatan, dan kecukupan hati. Karena sesungguhnya Allah yang telah
membentangkan jalan yang lurus ini untuk hamba-hamba-Nya dan Allah pula
lah yang menuntun mereka berjalan di atasnya. Tiada daya dan kekuatan
bagi kita kecuali dengan pertolongan dari-Nya. Kepada-Nya lah kita
kembali dan kepada-Nya kita meminta pertolongan. Wa shallallahu ‘ala
Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil
‘alamin.
;
0 komentar:
Posting Komentar